Sebuah
Tujuan, Sejarah Perumusan Pancasila
Oleh
: Qanita Asyd
"Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga
benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara
kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita
lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!”
(kutipan Puisi karya
Buya Hamka, “Natsir”, Dibuat langsung setelah M.Natsir berpidato menawarkan
sistem Islam kepada sidang konstituante untuk RI di tanggal 13 November 1957 )
Ketika M. Natsir berpidato menawarkan sistem Islam kepada sidang konstituante untuk RI di tanggal 13 November 1957, itu bukanlah keinginannya yang perdana. Bukan pula penolakan yang pertama karena hal tersebut telah terjadi sebelum Indonesia merdeka (17 Agustus 1945), ketika pembentukan dasar negara.
Dalam merancang Indonesia beserta dasar negaranya, Tentu tatanan baru dan tujuan akan dipertimbangkan dan dibentuk demi kelangsungan sang Negara dan bangsa ke depan. Sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia diwarnai oleh polarisasi dua ideologi pokok dalam penetapan konstitusi Negara. Kelompok pertama menghendaki konstitusi negara didasarkan atas paham yang bisa diterima oleh semua kalangan yaitu nasionalisme. Kelompok ini didukung oleh antara lain Soekarno, Mohammad Yamin, Soepomo, dan Mohammad Hatta. Kelompok kedua didukung oleh kalangan yang menghendaki pendirian Indonesia didasarkan syariat Islam.
Perdebatan panjang antara kedua kelompok
tersebut akhirnya mampu ditemukan dengan jalan tengah berupa Piagam Jakarta
pada tanggal 22 Juni 1945. Jalan tengah ini mengakomodasi kepentingan golongan
Islam dengan diterimanya prinsip “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya”. Akan
tetapi jalan tengah tersebut teranulir sehari setelah kemerdekaan Indonesia
yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 dan sebagai gantinya adalah disahkannya
Pancasila yang dirumuskan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada tanggal
18 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan
sidangnya yang pertama. Pada sidang ini PPKI membahas konstitusi negara
Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, serta lembaga yang membantu
tugas Presiden Indonesia. PPKI membahas konstitusi negara Indonesia dengan
menggunakan naskah Piagam Jakarta yang telah disahkan BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada intinya, rancangan
UUD hasil kerja BPUPKI dibahas kembali oleh PPKI. Pada pembahasannya terdapat
usul perubahan yang dilontarkan kelompok Hatta. Mereka mengusulkan dua
perubahan.
Pertama, berkaitan dengan sila pertama yang
semula berbunyi ”Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, Bab
II UUD Pasal 6 yang semula berbunyi “Presiden
ialah orang Indonesia yang beragama Islam” diubah menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Namun,
sebelum sidang dimulai, Bung Hatta dan beberapa tokoh Islam mengadakan
pembahasan sendiri untuk mencari penyelesaian masalah kalimat “…dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada kalimat “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Tokoh-tokoh Islam yang membahas adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo,
K.H. Abdul Wachid Hasyim, dan Teuku Moh. Hassan. Mereka perlu membahas hal
tersebut karena pesan dari pemeluk agama lain dan terutama tokoh-tokoh dari
Indonesia bagian timur yang merasa keberatan dengan kalimat tersebut. Mereka
mengancam akan mendirikan negara sendiri apabila kalimat tersebut tidak diubah.
Dari peristiwa tersebut, terdapat 3 poros
yang terbentuk yakni poros kiri (kelompok yang mengedepankan nasionalisme -
Hatta dkk), Poros Kanan (Kelompok yang mengedepankan Syariat Islam - Ki Bagus
Hadikusumo dkk) dan terakhir adalah poros tengah (Kelompok yang berada di
posisi mencari titik tengah dari perdebatan dan resiko perpecahan - M. Natsir
dkk). Melalui poros tengah, M. Natsir, Agus Salim dan para pendukungnya
berusaha mencari solusi dari perdebatan panjang. Hal yang paling diinginkan
Poros tengah adalah syariat Islam dijadikan sebagai dasar negara sebagaimana
Poros kanan inginkan, namun perdebatan tersebut mengharuskan adanya sebuah
‘kebijaksanaan dan kecerdasan’ dari umat Muslim.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama,
dicapai kesepakatan untuk menghilangkan kalimat
“…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Hal ini dilakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita
harus menghargai nilai juang para tokoh-tokoh yang sepakat menghilangkan
kalimat “…. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Sekalipun pahit bagi kaum muslim. Benarlah apa yang dikatakan M. Natsir, “Islam
beribadah itu akan dibiarkan. Islam berekonomi akan diawasi. Islam berpolitik
itu akan dicabut seakar-akarnya”.
Pada
akhirnya, semua usulan itu diterima peserta sidang. Rancangan hukum dasar yang diterima
BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945 setelah disempurnakan oleh PPKI disahkan
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. UUD itu kemudian dikenal sebagai
UUD 1945. Keberadaan UUD 1945 diumumkan dalam berita Republik Indonesia Tahun
ke-2 No. 7 Tahun 1946 pada halaman 45–48.
Sebagian kalangan memaknai Pancasila (mabadi’ul khamsah)
sebagai simbol kekalahan umat Islam, akibat
dicoretnya 7 kata yang spesifik: “...menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Bagi kaum muda muslim
bermental penakluk, pancasila bukanlah simbol
kekalahan, tapi pintu kemenangan. Perhatikan saja, lima sila itu tidak menghilangkan substansi Islam yang
universal. Pertama, Rabbaniyah Tauhidiyah. Kedua, Insaniyah
Akhlakiyah. Ketiga, Wihdah wal
Ukhuwah. Keempat, Hikmah wal Musyawarah.
Kelima, al-Ijtima’iyah.
Pancasila
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
3. Persatuan
Indonesia.
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terlepas
dari penerimaan sebagian umat Islam sendiri terhadap Pancasila, dasar Negara
Indonesia tersebut tetap menyerap spirit dan menjelaskan peran Umat Islam dalam
proses pembentukannya. Kata “ketuhanan Yang Maha Esa” jelas tidak akan lahir
jika menisbikan umat Islam dalam perumusannya. Sebab hanya Islam yang tetap
teguh dan kokoh memperjuangkan konsep Tauhid. Hanya Islam yang memiliki Tuhan
Yang Maha Esa. Tiada Tuhan selain Allah. Salam
Muslim Negarawan.
Referensi
:
Alhamdulillah...
BalasHapus