Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Selasa, 06 Agustus 2013

Sebuah Tujuan: Sejarah Perumusan Pancasila

Sebuah Tujuan, Sejarah Perumusan Pancasila
Oleh : Qanita Asyd

"Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!”
(kutipan Puisi karya Buya Hamka, “Natsir”, Dibuat langsung setelah M.Natsir berpidato menawarkan sistem Islam kepada sidang konstituante untuk RI di tanggal 13 November 1957 )

Ketika M. Natsir berpidato menawarkan sistem Islam kepada sidang konstituante untuk RI di tanggal 13 November 1957, itu bukanlah keinginannya yang perdana. Bukan pula penolakan yang pertama karena hal tersebut telah terjadi sebelum Indonesia merdeka (17 Agustus 1945), ketika pembentukan dasar negara.

Dalam merancang Indonesia beserta dasar negaranya, Tentu tatanan baru dan tujuan akan dipertimbangkan dan dibentuk demi kelangsungan sang Negara dan bangsa ke depan. Sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia diwarnai oleh polarisasi dua ideologi pokok dalam penetapan konstitusi Negara. Kelompok pertama menghendaki konstitusi negara didasarkan atas paham yang bisa diterima oleh semua kalangan yaitu nasionalisme. Kelompok ini didukung oleh antara lain Soekarno, Mohammad Yamin, Soepomo, dan Mohammad Hatta. Kelompok kedua didukung oleh kalangan yang menghendaki pendirian Indonesia didasarkan syariat Islam.
Perdebatan panjang antara kedua kelompok tersebut akhirnya mampu ditemukan dengan jalan tengah berupa Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Jalan tengah ini mengakomodasi kepentingan golongan Islam dengan diterimanya prinsip “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya”. Akan tetapi jalan tengah tersebut teranulir sehari setelah kemerdekaan Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 dan sebagai gantinya adalah disahkannya Pancasila yang dirumuskan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan sidangnya yang pertama. Pada sidang ini PPKI membahas konstitusi negara Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, serta lembaga yang membantu tugas Presiden Indonesia. PPKI membahas konstitusi negara Indonesia dengan menggunakan naskah Piagam Jakarta yang telah disahkan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada intinya, rancangan UUD hasil kerja BPUPKI dibahas kembali oleh PPKI. Pada pembahasannya terdapat usul perubahan yang dilontarkan kelompok Hatta. Mereka mengusulkan dua perubahan.
     Pertama, berkaitan dengan sila pertama yang semula berbunyi ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, Bab II UUD Pasal 6 yang semula berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia yang beragama Islam” diubah menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Namun, sebelum sidang dimulai, Bung Hatta dan beberapa tokoh Islam mengadakan pembahasan sendiri untuk mencari penyelesaian masalah kalimat “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tokoh-tokoh Islam yang membahas adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, dan Teuku Moh. Hassan. Mereka perlu membahas hal tersebut karena pesan dari pemeluk agama lain dan terutama tokoh-tokoh dari Indonesia bagian timur yang merasa keberatan dengan kalimat tersebut. Mereka mengancam akan mendirikan negara sendiri apabila kalimat tersebut tidak diubah.
Dari peristiwa tersebut, terdapat 3 poros yang terbentuk yakni poros kiri (kelompok yang mengedepankan nasionalisme - Hatta dkk), Poros Kanan (Kelompok yang mengedepankan Syariat Islam - Ki Bagus Hadikusumo dkk) dan terakhir adalah poros tengah (Kelompok yang berada di posisi mencari titik tengah dari perdebatan dan resiko perpecahan - M. Natsir dkk). Melalui poros tengah, M. Natsir, Agus Salim dan para pendukungnya berusaha mencari solusi dari perdebatan panjang. Hal yang paling diinginkan Poros tengah adalah syariat Islam dijadikan sebagai dasar negara sebagaimana Poros kanan inginkan, namun perdebatan tersebut mengharuskan adanya sebuah ‘kebijaksanaan dan kecerdasan’ dari umat Muslim.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dicapai kesepakatan untuk menghilangkan kalimat  “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal ini dilakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita harus menghargai nilai juang para tokoh-tokoh yang sepakat menghilangkan kalimat “…. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sekalipun pahit bagi kaum muslim. Benarlah apa yang dikatakan M. Natsir, “Islam beribadah itu akan dibiarkan. Islam berekonomi akan diawasi. Islam berpolitik itu akan dicabut seakar-akarnya”.
Pada akhirnya, semua usulan itu diterima peserta sidang. Rancangan hukum dasar yang diterima BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945 setelah disempurnakan oleh PPKI disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. UUD itu kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Keberadaan UUD 1945 diumumkan dalam berita Republik Indonesia Tahun ke-2 No. 7 Tahun 1946 pada halaman 45–48.
Sebagian kalangan memaknai Pancasila (mabadi’ul khamsah) sebagai simbol kekalahan umat Islam, akibat dicoretnya 7 kata yang spesifik: “...menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Bagi kaum muda muslim bermental penakluk, pancasila bukanlah simbol kekalahan, tapi pintu kemenangan. Perhatikan saja, lima sila itu tidak menghilangkan substansi Islam yang universal. Pertama, Rabbaniyah Tauhidiyah. Kedua, Insaniyah Akhlakiyah. Ketiga, Wihdah wal Ukhuwah. Keempat, Hikmah wal Musyawarah. Kelima, al-Ijtima’iyah.
Pancasila
1.    Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.    Persatuan Indonesia.
4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terlepas dari penerimaan sebagian umat Islam sendiri terhadap Pancasila, dasar Negara Indonesia tersebut tetap menyerap spirit dan menjelaskan peran Umat Islam dalam proses pembentukannya. Kata “ketuhanan Yang Maha Esa” jelas tidak akan lahir jika menisbikan umat Islam dalam perumusannya. Sebab hanya Islam yang tetap teguh dan kokoh memperjuangkan konsep Tauhid. Hanya Islam yang memiliki Tuhan Yang Maha Esa. Tiada Tuhan selain Allah. Salam Muslim Negarawan.
Referensi :

1 komentar: