KATA
TAK SEKUAT RASA
Oleh
Qanita Asyd
Ketika Tuanku
bercerita bahwa orang-orang yang berjalan di dakwah, lalu lelah atau terluka
dan bisa jadi mati, mereka benar-benar beruntung. Aku terkesima. Kiranya saat
itu, Allah pasti sedang memusatkan perhatiannya pada mereka. Dia mencintai
mereka. Tetapi segumpal ketetapan Sang Raja manusia itu membuatnya goyah.
Kulihat bulir-bulir bening jatuh dari matanya.
Ketika Tuanku
berkata bahwa ia ingin hidup tanpa kata. Aku tercengang. Sejak itu hidupku
berakhirlah sudah. Sudah tak bisa diulang lagi!
***
Pada suatu hari
dia berdarah. Sarera, Tuanku yang malang itu menerobos angin berharap menemukan
sekula air. Dengan jarak tiga depa ia berlari seraya mengatupkan jemarinya ke
wajah menuju sumber air. Kecewa ketika tak menemukan apa yang ia cari. Kasihan.
Ia terkulai lemah. Dengan sembarang ia menjatuhkan diri di depan ruang As-Salim,
ruang kecil tempat ia dan rekan-rekannya biasa bergumul dengan masalah. Sebuah
tempat ketika masa memberi isyarat renta tapi dakwah tak pernah beranjak pergi.
Seandainya aku bisa membantunya..
“Tidak patut
duduk sendirian di sini.”
Sebuah suara
datang dari arah samping. Aku melongok. Seorang pemuda bersayap As-Salim
berdiri kokoh. Dari jarak satu meter, aku bisa melihat pemuda itu. Ia telah
melukis gelombang lautan di dahinya ketika Sarera tak menanggapi tegurannya.
Mendekat sejengkal ketika ia menyadari ada yang janggal. Darah! tetapi Sarera segera
mendekapku erat sehingga aku tak bisa lagi melihat pemuda itu. Sayup-sayup kudengar
si Pemuda berbicara panik di telepon.
Itu cerita
beberapa minggu lalu ketika akhirnya tujuh perempuan datang dan menyelamatkan
Sarera. Itu cerita lalu sampai ketika Sarera menutup rapat diriku tatkala
nyaris saja ia ingin menceritakan hidupnya seperti yang telah kami lakukan
sejak lama. Aku kini menatapnya bosan. Sesekali mendesah melihat tingkahnya
yang hanya memberi kata isyarat yang tak kumengerti maknanya.
“Tidakkah kau
ingin memberi sesuatu yang bermakna padaku?” kali ini aku tak sabar lagi. Ku
tatap Sarera dengan sengit.
“Eh? Umm..”
Sarera hanya bergumam.
Aku melotot.
Sejak sepuluh
tahun lalu ia membeliku pada seorang wanita asing, ini kali pertama ia
menelantarkanku. Padahal aku sangat bangga bila ia menumpahkan semua rasa dan
pemikirannya padaku. Aku sudah merasa memiliki teman sejati hanya sampai ketika
Sarera tak menyentuhku berminggu-minggu. Aku kosong, namun sesaat setelah gadis
itu menggoreskan ujung penanya, aku berisi. Aku bermain bersama fantasi
indahnya. Terkadang kami mengarungi samudera dan melintasi negeri Greenwich dan
mendikte setiap bunga yang tumbuh disana. Tak jarang kami mengkhayal bersama
apakah di surga tumbuh pohon Duku? Berkerat-kerat waktu melebur bersama
ekspresi kami.
Sarera pernah
bilang bahwa ia tak akan selalu mendatangiku. Katanya, hidupnya seperti cerita
yang kadang harus berhenti sejenak, sebelum berlanjut ke babak selanjutnya.
Tapi kali ini sudah terlalu. Ia tak lagi bercerita. Ia tak lagi membuka halaman
demi halaman tubuhku. Padahal ia begitu piawai mengolah kata. Ia mampu menyusun
kata demi kata hingga menjadi kalimat yang bisa membuatku terbawa pada hatinya.
Ia selalu menjelaskan semua hal dengan apik. Adapun sekarang aku hanya bisa
menatapnya mondar-mandir di kamar. Tak pernah tahu kapan lagi ia menyentuhku.
Sarera sadar hal itu.
Sambil
menatapku, ia tersenyum, “Ada kata-kata yang sebaiknya kau tak tahu..” bisik
Sarera padaku.
Aku terkesiap.
“Kau payah!”
pekikku seketika.
***
Semua bermula ketika
Sarera menguntai rangkaian kata yang bernama teguran kepada salah seorang
saudara. Saudara itu tersinggung. Dan semua menjadi klimaks ketika ia bilang
padaku bahwa di Kampusnya, As-Salim sibuk dengan seminar dakwah. Ia termasuk
dari sedikit orang yang tak terpilih menjadi panitia. Sambil sesegukan katanya,
“Umayah
menangis karena merasa kinerjanya tidak maksimal. Aku tidak.” Lanjutnya, “Alila
kehilangan satu mata kuliah karena harus berada di sana. Aku kehilangan satu
kesempatan untuk menarik perhatian Rabbku.”
Aku menghela
nafas, ia ‘anak baru’ di jalan itu. Ia baru tahu kalau jalan itu susah. Jika
tak mati karena hempasan orang pendengki, ia bisa mati karena dirinya sendiri
lalu mundur dan tak kembali. Pun baru menyadari kalau ia cemburu.
“Lalu?”
tanyaku.
“Ku bilang pada
Umayah bahwa ia cengeng. Lalu ia bilang aku tidak akan mengerti karena aku tak
punya rasa di dakwah ini.” Suaranya meninggi. “Umayah tahu apa? Apa kata
sepenting itu? Apa harus dibilang kita cinta atau tidak?” Sekarang ku rasakan
setetes cairan menimpaku. Seperti biasa, hangat.
Tuanku terluka.
Sama halnya dengan Umayah. Sejak dulu Sarera selalu menganggap santai semua
hal. Kecuali, lidahnya. Semua berbeda ketika luka yang tercipta karena dialah
sebabnya. Pun ia memiliki luka karena melukai orang. Hingga ia menyesali kata.
“Kalau kata tak
ada, aku tak akan lahir..” aku memotong.
***
Sekalipun kata
tak lagi bersama Sarera dan aku menjadi sekarat. Sarera selalu membawaku ketika
ia pergi. Itu ia lakukan untuk menghiburku. Sering ia masuk ke dalam duniaku
untuk sekadar membaca ulang dan mengingat. Sarera benar-benar menepati
janjinya. Ia tak lagi hidup dengan kata. Ia berhenti menulis dan bicara. Ia
mengantri loket tanpa kata, memesan makanan tanpa kata, dan mengejutkan sekali
ketika diam itu lebih baik. Sarera tak perlu lagi cemas dengan hati-hati yang
luka karena kata atau tak perlu lagi menerima pembalasan yang lebih sakit
karena kata. ia tak berkata, maka lawan bicara tentu tak akan berkata padanya.
Sejak sang Mama masuk ke dalam sebuah ruangan di kampus-entah ruang apa namanya-
lalu keluar, sejak itu pula semua orang memaklumi Sarera. Ia hidup tanpa kata.
Tetapi tidak bagi
Umayah. Langkah panjangnya berhasil
menyusul Sarera sore itu. Menyodorkan secarik
kertas berwarna hijau. Umayyah bilang itu kutipan dari perkataan seorang Syaikh. Sebuah kutipan yang membuat
Sarera redup.
“Sarera..
kemarin kukira orang
yang di maksud itu adalah kamu.” Umayyah bicara pelan.
Sarera terlihat
tenang walau ku tahu jantungnya berdegup kencang.
“Tapi, aku pun
juga termasuk orang itu.” Ujar Umayyah, “Sarera, bukan ukhuwah yang membentuk
iman. Tapi iman itu sendiri yang membuat kita bisa bersama sampai detik ini..”
ia menghela napas. “ku harap iman kita sedang tidak bolong. Jadi besok pagi
ketika kita bertemu, kita bisa saling sapa lagi tanpa mengingat yang kemarin..”
Perlahan
langkah Tuanku Sarera menuju pada Umayyah. Aku tahu. Tuanku sangat rindu dengan
bahu milik Umayyah. Sudah lama sejak pertengkaran itu.
“Bisakah kau
berhenti hidup tanpa kata? dakwah kita pun butuh kata, Rera..”
Sarera
mengangguk. Ketika ku intip, mata dua wanita itu memiliki sinar yang sama. Aku mengira
keduanya memiliki rasa yang sama. Sehingga tak perlu lagi kata untuk menyampaikan.
Dan kata tak berguna lagi karena hati telah saling bicara.
“Orang-orang yang terlalu semangat atau emosional ini menyangka
bahwa dengan semangat dan emosinya mereka akan mampu memberikan kepada Islam
sesuatu yang tak pernah dapat diberikan oleh orang-orang sebelumnya. Malah
kadangkala keadaanya lebih keterlaluan. Apalagi mereka dengan sewenang-wenang
menuduh dan menyebut orang-orang yang tidak menyamai semangat dan emosinya
sebagai orang-orang yang lemah, penakut, dan pengecut.”
(Syaikh Musthafa Masyhur)
***
Dia adalah Tuhan Yang Mengetahui yang ghaib,
maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.
(Al-Jin: 26)
Begitu yang
Sarera sampaikan padaku ketika ia kembali ke duniaku lagi. Sarera sudah mulai
menulis lagi walau tak jelas apa yang ia tulis. Tapi kali ini ia lebih waspada.
ia hanya menulis kicauan burung pipit di taman kampus daripada menulis hatinya.
ia hanya melukis sebuah garis horizontal tepat ketika sudut matanya menangkap seseorang.
Sejauh tiga meter seorang pemuda melintas. Aku ingat dia. Pemuda yang berbicara
panik di telepon ketika Tuanku mimisan.
“O o.. Apa kau tak mau bercerita jasa pemuda itu?”
Godaku padanya. Sengaja menuntun penanya untuk menulis tentang pemuda itu.
Sarera
menggeleng. “Setan tidak mengetahui urusan ghaib, termasuk isi hati dan isi
pikiran..” jawab Tuanku. “Setan tak pernah tahu nabi Sulaiman telah meninggal. Kecuali
ketika rayap memakan tongkatnya. Setan baru menyadari..”
Aku menatap
Sarera.
“Aku menulisnya, setan membacanya. Aku
mengatakannya, setan mendengar..” Begitu yang Sarera jelaskan padaku. Ia seolah
mengerti makna tatapanku. kemudian memutuskan bercerita padaku, menulis pada
tubuhku. “Kau harus mengerti. Aku tak akan bercerita sembarangan lagi padamu..”
lanjutnya.
Butuh beberapa menit untuk mengerti
maksud Sarera. Kebaikan pemuda itu telah memberi kesan. Jika ia tak hati-hati,
sebentar lagi ujung pena akan menuliskan nama pemuda itu. Dan setan yang berada
di samping kami akan membacanya. Jika mereka tahu, tentu mereka akan semakin
menghembuskan bergumpal-gumpal angan kosong pada Tuanku.
“Baiklah, aku mengerti. Tapi bukankah
kata tak lagi kau benci? sekarang kau sudah menulis lagi, tapi kenapa belum
bicara?” sesaat setelah aku menanyakan hal itu, dua tetes cairan hangat
menghujani tubuhku. Seperti biasa. Tuanku mimisan. Tak berapa lama, Sarera
menyelipkan selembar kertas di tubuhku.
“Ini surat vonis dokter. Kanker
Nashofaring.. perlahan menyerang hidungku, leherku.. pita suaraku.. mataku..
hingga otakku..”
Serak!
Dua cairan berbeda warna mengalir
padaku. Air mata dan darahkah? Entahlah.. tetapi Sarera tetap menulis. Ia tak
peduli lagi dengan darahnya. Ia hanya ingin meraup kata yang sempat ia buang,
mengubahnya menjadi tentara Allah. Ia hanya ingin menulis sebagai persembahan
cintanya pada Tuhannya. Sekalipun kata tak pernah sekuat rasa.
***
Betapapun indah dan logis artikulasi
dari kata-kata.
Toh kata tetap tak pernah utuh dalam
mewakili rasa.
Karena kata tak sekuat rasa..
Sebapo, Jambi
Sunday, March 24, 2013
Bahasamu adikku...
BalasHapusSemakin indah.. penuh khiasan...
Keren..
keren... (y)
BalasHapuskakak. syukron, Alhamdulillah.
BalasHapus