Oleh Qanita Asyd
September,
1999
Peristiwa
itu terjadi begitu saja. Entah sejak kapan. Perempuan dengan intelektual tinggi
itu menghilang. Mungkin lebih tepatnya kusebut ia menghindar. Perempuan dengan
garis tegas di wajahnya, kerudung panjang yang selalu berkibar dan wajah ceria
penuh damai itu tak ku dapati lagi. Aku selalu saja berjalan di belakangnya dan
memperhatikannya dari jauh. Temanku, ia temanku. Ku sayangi dia sepenuh hati
walau pada kenyataannya, aku terlihat begitu datar. Temanku, ia temanku. Ku
hargai dia walau pada hasilnya aku terlalu sibuk hanya untuk menemaninya.
“Ah..
yang sebelah kiri pasti iri! Sini deh Dias tambah yaa…” seru Dias suatu hari
ketika ia mengagetkanku dengan kecupannya. Ia mencium pipi kananku dan berkata
bahwa si pipi kiri cemburu. Aku tergelitik.
Namanya
Dias. Dias Maia. Pembawaannya yang polos dan ekspresif itu cukup mampu menyita
perhatian. Sikapnya yang terlalu berlebihan kurasa, namun tak pernah ia ambil
pusing. Dias, perempuan sejuta warna itu akan tertawa renyah bila aku
meneriakinya ketika ia memelukku erat hingga susah bernafas. Dias, seseorang
yang berani berkata cinta dengan sangat mudah pada temannya. Dias, seseorang
yang entah kenapa kini menjauh dari kami. Menjauh dari rutinitas membela agama
kami.
“Kemana
sih, Dias?” kata Putri seraya membolak-balikkan buku askariyah.
“Lagi
ada kelas kali, ya..” jawabku sekenanya.
“Tiap
hari?” tanya Putri lagi. Ragu. “Tapi.. kok rasanya nggak gitu, ya..”
“Entahlah,
ukhti..”
Aku
tertunduk lemah. Aku malas bilang pada Putri kalau barusan saja aku bertemu
Dias. Bertemu dengan perempuan yang biasanya selalu berapi-api bila ada aksi
mahasiswa. Perempuan yang selalu berkata ini-itu berkepanjangan bila menyangkut
pembelaan agama, yang selalu menjaga batas pergaulan. Yang selalu menjaga diri
dan kehormatan agamanya.
Tapi,
barusan saja. Dias.. dengan mata merah berkata ‘sibuk’ takkala ku ajak ke base camp kami.
Dias..
***
“Mau
kemana kak?” suara cempreng itu naik turun menghampiriku. Itu Asel, adikku.
“Mau
syuting..”
Asel
nyengir. Ia tahu pasti yang aku maksudkan ‘syuting’ itu adalah syuro penting.
Matanya tampak menyipit ketika senyum mengembang di wajahnya.
“Mau
bahas aku Kak ya?” tanyanya gede rasa.
“Iya.
Kalau kamu bertingkah aneh..”
Lagi-lagi
aku menggodanya. Kulihat wajah Asel tampak malu. Itu memang sudah menjadi
hobiku untuk selalu menggodanya. Menggoda adik perempuanku satu-satunya. Adik
yang membuat hatiku merasa sayang padanya, walau pada kenyataannya aku tak
pernah memperlihatkannya. Adik yang satu tahun belakangan ini telah memutuskan
untuk berjalan dalam temali kuat sama seperti kami. Tarbiyah.
Aku
baru saja mencubit pipi adikku takkala sudut mataku mendapati sekelebat
bayangan menuju Masjid. Itu Dias. Syaraf-syaraf otakku mengirim sinyal pada
tubuhku untuk bergerak mengejar perempuan yang paling dirindukan saat ini.
Banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Ya. Banyak hal yang ingin aku koreksi
darinya sebelum dia menjadi salah satu orang yang akan masuk ke dalam
pembahasan syuro nanti. Menjadi salah
satu orang yang harus kami sangat jaga. Aku telah berada dua meter darinya.
Hampir dekat.
“Dias..!”
Gadis
itu menoleh.
Spontan
aku menyentuh bahunya ketika kami sudah berhadapan. Dias sepertinya sudah tahu
maksudku. Tapi, ia masih saja mencoba tak pernah terjadi apapun. “Kaifa ya Ukhti?”
Aku
tak langsung menjawab. Terengah-engah. Di belakangku tampak Asel yang
tergopoh-gopoh menyusulku.
“Anti kenapa sih, ukh?”
“Nggak apa..” Dias tersenyum.
“Ikut
rapat aliansi yuk..”
Hening.
Tak ada jawaban.
Ah..
Dias. Dia sungguh membingungkan akhir-akhir ini.
“Kebetulan
ada kamu.” Dias berujar. Urat-urat di wajahnya tampak menegang. “Begini.. Dias
mau off dulu sebentar dari sini..
boleh nggak?” kata Dias Akhirnya.
Aku
terkaget. Apaan-apaan sekali bilang ingin off
ketika amanah masih menunggu untuk ditunaikan?
“Kamu…”
aku mengalihkan pandang. Kulihat awan, pohon, atau apa saja asalkan bukan Dias.
Asalkan bukan dia!
Terlalu
mencemaskan bagiku—dan sesungguhnya tak hanya bagiku—ketika tahu akan ada salah
seorang dari kami yang menyatakan ingin off
dulu atau istirahat dari amanah dan
kegiatan jamaah dengan segudang
alasan. Pada akhirnya akan ada dua kesimpulan dari keputusan ‘off dulu’. Ia akan kembali aktif atau mungkin hal
buruklah yang akan terjadi. Ia tak akan kembali..
Ia
mungkin tak pernah menyangka bahwa ketika ia pergi dari jalan ini, hati kami
menangis. Ia laksana penghuni kursi yang pergi jauh dan membuat kursi itu menjelma
jadi kursi kosong. Entah bagaimana caranya, Allah telah menanamkan rasa cinta yang
besar pada orang-orang yang berjalan di jalan yang sama seperti kami. Entah
bagaimana awalnya.. ruh kami telah saling bercanda sebelum kami berkenalan.
Dan.. tampaknya ia tak menyadari bahwa pada akhirnya kursi kosong itu akan
terisi kembali oleh orang lain. Ia tergantikan.
Hanya
saja, terlalu hitam untukku untuk membiarkan Dias mundur begitu saja. Organisasi
ini bukan hanya dakwah atau amal jama’i. Ini
tentang persaudaraan. Ia bilang, ia akan tetap halaqah. Ia hanya ingin off dari jamaah. Tapi, bisakah ia tetap terjaga?
Aku
menatap Dias yang kini menggenggam erat jemariku. Mataku panas. Tenggorokanku
sakit menahan tangis. Aku baru tahu bahwa cinta memang terkadang disadari
setelah kehilangan. Aku baru saja menyadari betapa berharganya Dias. Secepat
yang aku bisa, aku melarikan diri dari hadapan Dias. Asel mengejarku..
Saat
ini, aku tak ingin bertemu siapapun!
***
Sore
itu gerimis takkala kudapati seorang perempuan yang membuatku bingung beberapa
hari ini duduk di sudut mesjid kampus. Seorang perempuan yang dua hari lalu
membuat keputusan paling buruk. Tubuhnya bergetar. Ia membenamkan wajah
diantara kakinya. Aku kenal baik sosok itu.
Itu
Dias..
Secara
refleks tanganku menyentuh Dias. Tiba-tiba semua jadi diam. Tak ada tanggapan. Ketika
melihat keadaannya, aku yakin ia menangis. ingin sekali aku melemparkan banyak
pertanyaan. ‘Kenapa?’ Atau berkata ‘Ayo cerita, ukhti’. Atau apa sajalah yang bisa membuatku mengerti tentang
keadaannya. Hingga aku menyadari bahwa terkadang ukhuwah itu hanya butuh bahu.
Bukan kata.
Aku
memeluk Dias dan merasakan Dias memang sangat bersyukur menemukan sebuah bahu
saat itu. ia balas mendekapku erat.
Ia
masih terus memelukku hingga ia cukup mampu untuk bicara.
“Dias
jatuh cinta, Ta.. Dias nggak mau ketemu orang itu.” desis Dias susah payah
dalam pelukanku. Aku tercekat. Jatuh cinta? VMJ? Ya Rabb..
Saat
ini, aku tak bisa membedakan getaran manakah yang paling hebat ketika memeluk
Dias. tubuhku atau tubuhnya. Aku nyaris tak berkutik ketika ia memberikan
alasan off paling dinanti selama ini.
Aku tak bisa berkomentar seperti yang biasa aku lakukan. Ini beda. Ini masalah
hati.
“Kamu
nggak tau.. kamu nggak tau rasanya,
kan?”
Hening.
Bingung.
“Semuanya
hancur..” tubuh Dias semakin bergetar hebat. Ia memang tak mengeluarkan suara isakan
takkala bulir-bulir suci menapaki wajahnya. Ia menangis diam. Hanya saja,
getaran tubuhnya membuatku ikut kacau.
“Afwan..” hanya kata itu yang bisa aku
ucapkan.
Dias
tetap menangis. “Dengar, aku tak akan lama mundur dari sini. Aku hanya perlu
waktu untuk mengganti hatiku dengan yang baru. Aku nggak akan lama. InsyaAllah, ukhti..”
Perih.
Kini, kurasakan sakit di bagian hati yang kian merambat.. Sekarang aku paham
bagaimana susahnya Dias. Selama ini, Ia melawan dirinya sendiri. Dan sekarang
aku baru mengerti tentang sikap aneh Dias akhir-akhir ini Ya. Sekarang!
Sejak
dulu, aku selalu bermasalah dengan sistem pertahanan air mata. Tanpa kusadari,
pecahan-pecahan kaca dimataku telah berubah menjadi bulir-bulir yang mengalir
deras. Aku mengerti sekarang. Tapi, kenapa baru sekarang? Kenapa
pikiran-pikiran buruk tentang Dias sempat masuk ke dalam hatiku?
“Afwan.. afwan.. harusnya kami
memperhatikanmu. Seharusnya kamu nggak kekurangan cinta. Seharusnya kamu nggak
begini..”
Dias
tak menjawab. Yang aku tahu, Dias mulai tenang. Dias terlelap.
Batu
menara itu telah ku temukan lagi. Cinta. ternyata tak cukup hanya dengan
memperhatikan sahabatku dari jauh, ternyata aku harus turun tangan seperti Sang
Nabi yang selalu berani berkata cinta pada sahabatnya. Aku mencoba memahami,
ketika seorang saudara terserang VMJ, aku dimana? Berdiri disampingnya?
Menuntunnya? Atau menyalahkannya?.
Aku
hanya mencoba memahami, mungkinkah ia merasa kurang dicintai hingga ia mencari
cinta yang haram? Mungkin.. dan harusnya aku paham. Bahwa ukhuwah ini memang
harus ada. ukhuwah ini memang harus erat melebihi tali apapun.
Mengalahkan
keburukan.
VMJ—Virus Merah Jambu—akan jadi kehitam-hitaman ketika
maksiat jadi bumbu. Pada tahun xxxx, jauh sebelum saat ini, Virus hati itu
belum menjadi sesuatu yang pantas disebut. Apalagi dibahas dalam forum terbuka.
Hanya pelakunya saja yang sadar, tiba-tiba merasa perlu mengasingkan diri untuk
sementara karena membawa aib bagi dakwah dan jama'ah. Nampaknya kini makin
ganas penyebarannya.. Hati-hati ikhwah, sembuhnya sulit kalau tidak ada 'azzam
yang kuat untuk berobat.
***
March
28, 2012 10:31:54 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar