Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Sabtu, 24 November 2012

OFF


OFF
Oleh Qanita Asyd

September, 1999
Peristiwa itu terjadi begitu saja. Entah sejak kapan. Perempuan dengan intelektual tinggi itu menghilang. Mungkin lebih tepatnya kusebut ia menghindar. Perempuan dengan garis tegas di wajahnya, kerudung panjang yang selalu berkibar dan wajah ceria penuh damai itu tak ku dapati lagi. Aku selalu saja berjalan di belakangnya dan memperhatikannya dari jauh. Temanku, ia temanku. Ku sayangi dia sepenuh hati walau pada kenyataannya, aku terlihat begitu datar. Temanku, ia temanku. Ku hargai dia walau pada hasilnya aku terlalu sibuk hanya untuk menemaninya.
“Ah.. yang sebelah kiri pasti iri! Sini deh Dias tambah yaa…” seru Dias suatu hari ketika ia mengagetkanku dengan kecupannya. Ia mencium pipi kananku dan berkata bahwa si pipi kiri cemburu. Aku tergelitik.
Namanya Dias. Dias Maia. Pembawaannya yang polos dan ekspresif itu cukup mampu menyita perhatian. Sikapnya yang terlalu berlebihan kurasa, namun tak pernah ia ambil pusing. Dias, perempuan sejuta warna itu akan tertawa renyah bila aku meneriakinya ketika ia memelukku erat hingga susah bernafas. Dias, seseorang yang berani berkata cinta dengan sangat mudah pada temannya. Dias, seseorang yang entah kenapa kini menjauh dari kami. Menjauh dari rutinitas membela agama kami.
“Kemana sih, Dias?” kata Putri seraya membolak-balikkan buku askariyah.
“Lagi ada kelas kali, ya..” jawabku sekenanya.
“Tiap hari?” tanya Putri lagi. Ragu. “Tapi.. kok rasanya nggak gitu, ya..”
“Entahlah, ukhti..
Aku tertunduk lemah. Aku malas bilang pada Putri kalau barusan saja aku bertemu Dias. Bertemu dengan perempuan yang biasanya selalu berapi-api bila ada aksi mahasiswa. Perempuan yang selalu berkata ini-itu berkepanjangan bila menyangkut pembelaan agama, yang selalu menjaga batas pergaulan. Yang selalu menjaga diri dan kehormatan agamanya.
Tapi, barusan saja. Dias.. dengan mata merah berkata ‘sibuk’ takkala ku ajak ke base camp kami.
Dias..

***
“Mau kemana kak?” suara cempreng itu naik turun menghampiriku. Itu Asel, adikku.
“Mau syuting..”
Asel nyengir. Ia tahu pasti yang aku maksudkan ‘syuting’ itu adalah syuro penting. Matanya tampak menyipit ketika senyum mengembang di wajahnya.
“Mau bahas aku Kak ya?” tanyanya gede rasa.
“Iya. Kalau kamu bertingkah aneh..”
Lagi-lagi aku menggodanya. Kulihat wajah Asel tampak malu. Itu memang sudah menjadi hobiku untuk selalu menggodanya. Menggoda adik perempuanku satu-satunya. Adik yang membuat hatiku merasa sayang padanya, walau pada kenyataannya aku tak pernah memperlihatkannya. Adik yang satu tahun belakangan ini telah memutuskan untuk berjalan dalam temali kuat sama seperti kami. Tarbiyah.
Aku baru saja mencubit pipi adikku takkala sudut mataku mendapati sekelebat bayangan menuju Masjid. Itu Dias. Syaraf-syaraf otakku mengirim sinyal pada tubuhku untuk bergerak mengejar perempuan yang paling dirindukan saat ini. Banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Ya. Banyak hal yang ingin aku koreksi darinya sebelum dia menjadi salah satu orang yang akan masuk ke dalam pembahasan syuro nanti. Menjadi salah satu orang yang harus kami sangat jaga. Aku telah berada dua meter darinya. Hampir dekat.
“Dias..!”
Gadis itu menoleh.
Spontan aku menyentuh bahunya ketika kami sudah berhadapan. Dias sepertinya sudah tahu maksudku. Tapi, ia masih saja mencoba tak pernah terjadi apapun. “Kaifa ya Ukhti?”
Aku tak langsung menjawab. Terengah-engah. Di belakangku tampak Asel yang tergopoh-gopoh menyusulku.
Anti kenapa sih, ukh?”
Nggak apa..” Dias tersenyum.
“Ikut rapat aliansi yuk..”
Hening. Tak ada jawaban.
Ah.. Dias. Dia sungguh membingungkan akhir-akhir ini.
“Kebetulan ada kamu.” Dias berujar. Urat-urat di wajahnya tampak menegang. “Begini.. Dias mau off dulu sebentar dari sini.. boleh nggak?” kata Dias Akhirnya.
Aku terkaget. Apaan-apaan sekali bilang ingin off ketika amanah masih menunggu untuk ditunaikan?
“Kamu…” aku mengalihkan pandang. Kulihat awan, pohon, atau apa saja asalkan bukan Dias. Asalkan bukan dia!
Terlalu mencemaskan bagiku—dan sesungguhnya tak hanya bagiku—ketika tahu akan ada salah seorang dari kami yang menyatakan ingin off  dulu atau istirahat dari amanah dan kegiatan jamaah dengan segudang alasan. Pada akhirnya akan ada dua kesimpulan dari keputusan ‘off  dulu’. Ia akan kembali aktif atau mungkin hal buruklah yang akan terjadi. Ia tak akan kembali..
Ia mungkin tak pernah menyangka bahwa ketika ia pergi dari jalan ini, hati kami menangis. Ia laksana penghuni kursi yang pergi jauh dan membuat kursi itu menjelma jadi kursi kosong. Entah bagaimana caranya, Allah telah menanamkan rasa cinta yang besar pada orang-orang yang berjalan di jalan yang sama seperti kami. Entah bagaimana awalnya.. ruh kami telah saling bercanda sebelum kami berkenalan. Dan.. tampaknya ia tak menyadari bahwa pada akhirnya kursi kosong itu akan terisi kembali oleh orang lain. Ia tergantikan.
Hanya saja, terlalu hitam untukku untuk membiarkan Dias mundur begitu saja. Organisasi ini bukan hanya dakwah atau amal jama’i. Ini tentang persaudaraan. Ia bilang, ia akan tetap halaqah. Ia hanya ingin off dari jamaah. Tapi, bisakah ia tetap terjaga?
Aku menatap Dias yang kini menggenggam erat jemariku. Mataku panas. Tenggorokanku sakit menahan tangis. Aku baru tahu bahwa cinta memang terkadang disadari setelah kehilangan. Aku baru saja menyadari betapa berharganya Dias. Secepat yang aku bisa, aku melarikan diri dari hadapan Dias. Asel mengejarku..
Saat ini, aku tak ingin bertemu siapapun!
***
Sore itu gerimis takkala kudapati seorang perempuan yang membuatku bingung beberapa hari ini duduk di sudut mesjid kampus. Seorang perempuan yang dua hari lalu membuat keputusan paling buruk. Tubuhnya bergetar. Ia membenamkan wajah diantara kakinya. Aku kenal baik sosok itu.
Itu Dias..
Secara refleks tanganku menyentuh Dias. Tiba-tiba semua jadi diam. Tak ada tanggapan. Ketika melihat keadaannya, aku yakin ia menangis. ingin sekali aku melemparkan banyak pertanyaan. ‘Kenapa?’ Atau berkata ‘Ayo cerita, ukhti’. Atau apa sajalah yang bisa membuatku mengerti tentang keadaannya. Hingga aku menyadari bahwa terkadang ukhuwah itu hanya butuh bahu. Bukan kata.
Aku memeluk Dias dan merasakan Dias memang sangat bersyukur menemukan sebuah bahu saat itu. ia balas mendekapku erat.
Ia masih terus memelukku hingga ia cukup mampu untuk bicara.
“Dias jatuh cinta, Ta.. Dias nggak mau ketemu orang itu.” desis Dias susah payah dalam pelukanku. Aku tercekat. Jatuh cinta? VMJ? Ya Rabb..
Saat ini, aku tak bisa membedakan getaran manakah yang paling hebat ketika memeluk Dias. tubuhku atau tubuhnya. Aku nyaris tak berkutik ketika ia memberikan alasan off paling dinanti selama ini. Aku tak bisa berkomentar seperti yang biasa aku lakukan. Ini beda. Ini masalah hati.
“Kamu nggak tau.. kamu nggak tau rasanya, kan?”
Hening. Bingung.
“Semuanya hancur..” tubuh Dias semakin bergetar hebat. Ia memang tak mengeluarkan suara isakan takkala bulir-bulir suci menapaki wajahnya. Ia menangis diam. Hanya saja, getaran tubuhnya membuatku ikut kacau.
Afwan..” hanya kata itu yang bisa aku ucapkan.
Dias tetap menangis. “Dengar, aku tak akan lama mundur dari sini. Aku hanya perlu waktu untuk mengganti hatiku dengan yang baru. Aku nggak akan lama. InsyaAllah, ukhti..”
Perih. Kini, kurasakan sakit di bagian hati yang kian merambat.. Sekarang aku paham bagaimana susahnya Dias. Selama ini, Ia melawan dirinya sendiri. Dan sekarang aku baru mengerti tentang sikap aneh Dias akhir-akhir ini Ya. Sekarang!
Sejak dulu, aku selalu bermasalah dengan sistem pertahanan air mata. Tanpa kusadari, pecahan-pecahan kaca dimataku telah berubah menjadi bulir-bulir yang mengalir deras. Aku mengerti sekarang. Tapi, kenapa baru sekarang? Kenapa pikiran-pikiran buruk tentang Dias sempat masuk ke dalam hatiku?
Afwan.. afwan.. harusnya kami memperhatikanmu. Seharusnya kamu nggak kekurangan cinta. Seharusnya kamu nggak begini..”
Dias tak menjawab. Yang aku tahu, Dias mulai tenang. Dias terlelap.
Batu menara itu telah ku temukan lagi. Cinta. ternyata tak cukup hanya dengan memperhatikan sahabatku dari jauh, ternyata aku harus turun tangan seperti Sang Nabi yang selalu berani berkata cinta pada sahabatnya. Aku mencoba memahami, ketika seorang saudara terserang VMJ, aku dimana? Berdiri disampingnya? Menuntunnya? Atau menyalahkannya?.
Aku hanya mencoba memahami, mungkinkah ia merasa kurang dicintai hingga ia mencari cinta yang haram? Mungkin.. dan harusnya aku paham. Bahwa ukhuwah ini memang harus ada. ukhuwah ini memang harus erat melebihi tali apapun.
Mengalahkan keburukan.

VMJ—Virus Merah Jambu—akan jadi kehitam-hitaman ketika maksiat jadi bumbu. Pada tahun xxxx, jauh sebelum saat ini, Virus hati itu belum menjadi sesuatu yang pantas disebut. Apalagi dibahas dalam forum terbuka. Hanya pelakunya saja yang sadar, tiba-tiba merasa perlu mengasingkan diri untuk sementara karena membawa aib bagi dakwah dan jama'ah. Nampaknya kini makin ganas penyebarannya.. Hati-hati ikhwah, sembuhnya sulit kalau tidak ada 'azzam yang kuat untuk berobat.

***
March 28, 2012 10:31:54 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar