Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Sabtu, 24 November 2012

Wahai saudaraku, Bacalah Sejarah..

" Ini juga bukan hanya tentang agama! Tapi kemanusiaan.. dan rasa kemanusiaan yang masih di batasi dengan batas-batas Negara, sebenarnya itu bukanlah kemanusiaan. Siapapun anda, lihatlah, dengar, rasakan, sungguh telah terjadi perampasan yang besar terhadap Palestina! "

Untukmu Palestina
Wahai Negeri, sepertinya aku tau mengapa Allah belum memberi kita kemenangan.
itu karena kau adalah Negeri yang Allah jadikan tempat para jiwa syuhada.
Tempat dimana para jiwa munafik yang akan menunjukkan dirinya sendiri.
Wahai Negeri, bersabarlah..
Sungguh Allah tidak menciptakan kita hanya untuk di sia-siakan.
Wahai Negeri, tunggulah..
Sesungguhnya mereka juga menunggu. kita pasti menang.
Wahai Negeri, Berbahagialah..
Engkau mati masuk syurga, mereka mati masuk neraka..
---------------------------------------------------------------------------------------------
22 November 2012, 16.30 WIB

"Arrrkh...!" teriakku dalam hati.
Ukhti Gaku (bukan nama sebenarnya) juga terlihat gelisah didepanku. di belakang kami masih ada dua orang saudari yang mengikuti, mencari dimana saudara kami berkumpul, saudara yang selalu membuatku bangga sekaligus iri. kenapa aku tidak bisa seperti mereka?
Ukhti Gaku sadar bahwa kami termasuk orang yang tertinggal dalam barisan. padahal Rabb kami sudah bilang untuk bersegera dalam berjihad. tapi entah mengapa hanya karena helm, semuanya jadi seperti ini. tapi Rabb.. maaf..

Surat At-Taubat ayat 38 dan 41 : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأَرْضِ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ قَلِيلٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu : “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.”
انْفِرُواْ خِفَافاً وَثِقَالاً وَجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

**
Kami sudah tiba di depan Mesjid Al-Azhar. menurut pesan singkat yang datang bertubi-tubi sejak kemarin, lokasi kami sudah benar. Jelutung . Tempat dimana Allah akan menunjukkan siapa yang peduli Palestina atau siapa yang tidak.
"Loh.. kok nggak ada Ukh.." Ukhti Gaku celingak-celinguk
"Simpang ukh.. mungkin di simpang mau ke TRONA nggak?"
"waduuuuuh..... ukh...."
Sebenarnya kami nggak takut dimarahi, dan sepertinya nggak akan dimarahi. kami hanya malu. kami malu karena telat. Segala puji bagi Allah yang masih memberikan kami kehalusan hati dengan rasa malu.
Aku yakin. di depan sana pasti ada mereka.
tak berapa lama kemudian, samar-samar kami mendengar suara para ikhwan menyanyikan lagu Palestina.
"untukmu jiwa-jiwa kami
untukmu darah kami.."
Kami buru-buru parkir motor di depan sebuah ruko dan menjadi orang yang masuk dalam barisan. sampai akhirnya kami bertemu dengan salah seorang saudari yang sering membuatku merasa kalah dalam perlombaan kebaikan untuk mencari kardus lagi. Beliau tangguh. tapi saya harus lebih tangguh. amiiin. seorang motivator mengajari saya seperti itu. dan.. cerita berlanjut menjadi pencarian kardus untuk menampung pundi-pundi kedermawanan dari jiwa yang terbungkus kefanaan di sekitar lalu lintas.
Awalnya bingung. semua jurusan telah di penuhi saudara-saudariku dengan kardus mereka. tapi kami tetep ngotot-dalam hal ini harus ngotot- memilah-milah poster yang akan aku pamerkan di tengah jalan, dan membagi-bagikan selebaran. aku sudah menemukan berbagai jenis orang sejak dua hari yang lalu. untuk sekadar info, penggalangan dana ini sudah berlangsung sejak tanggal 20 November kemarin. hanya saja aku tidak bisa bergabung di hari kedua. ini hari ketiga (22 November).

Kemarin itu,
"beneran di kasih ke Palesina yaa..." kata seorang Ibu setengah baya seraya memberikan hartanya.
"Iya Buuu.. InsyaAllah.." kataku senyum girang. "Of course!!"
Lalu..
"Fukaa...!" teriak pasangan muda-mudi menyapaku dengan ber-dadah-dadah-ria. mereka temanku.
"a..a.aa sumbangan dong...!" nggak sempat menyetop mereka.
Wuuuush......motor mereka melaju begitu saja. "a..hilang kesempatan.."
Lalu..
"Fukaaa..!" rombongan dalam mobil teriak-teriak. aku celingukan hingga kusadari orang-orang dalam mobil biru didepanku memanggil. aku dekati, mereka juga teman-temanku! teman masa SMP!
"kur-kur, Ayu.. minta sumbangan..! aku bahagia. "yang banyak.."
"OK OK"
"cepat-cepat, lampu ijo tuh.."
Lalu..ketika kami hanya berdiri di trotoar, tanpa mendatangi para pengguna jalan.
Wuushh. tuing.
"Wah kakak..! uang nya jatuh.." seorang adik mengejutkanku.
Seorang lelaki misterius berhelm yang tak ingin menunjukkan jati dirinya melemparkan uang dengan jumlah banyak ke kardus kami  lalu melaju secepat yang ia bisa. "Masyallah.."
Lalu.. penolakan-penolakan yang terjadi. Ada yang nggak mau noleh sedikitpun, hanya sedekah senyum, geleng-geleng, bahkan ada yang sengaja ngebut biar nggak sempet di mintai. Ya Rabb.. berikanlah mereka cahaya pengetahuan dan pemahaman yang agar mereka tahu penderitaan Palestina, saudara kami. Agar mereka tahu sebenarnya memang telah terjadi perampasan yang besar terhadap Palestina oleh Kaum Yahudi. Wahai saudaraku.. sahabat.. bacalah sejarah. Sungguh telah terjadi perampasan yang besar terhadap Palestina. Telah terjadi perampasan yang Besar.

Teringat perkataan salah satu teman,
“Fuka, Palestina itu juga salah. Israel kan nggak nyerang lagi. Tapi Palestina yang mulai nge-bom” Katanya dengan mimik sarkatis.
Ku bilang padanya, “Sembarangan. Bacalah banyak buku, kau kurang membaca..”
Sejak kapan Israel “nggak menyerang lagi”?
Hello, kita orang muslim tidak diperintah Allah menjadi umat pengecut! Kita dilarang mencari musuh, tapi bila musuh menyerang, kita tak boleh berlari ke belakang!

Surat Haji ayat 39 : أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
Artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,”
**
Freedom for Palestina

Mujahid Pena I

Bismillahirrahmaanirrahiim


Wahai Rabbku

Engkau telah menciptakan sebuah ruang dimana hanya ada kita berdua. Kau bilang aku boleh datang kapan saja. Kau jadikan tempat itu sebagai ruangan dimana Kau bisa melihat siapa aku. Kau ciptakan jarak antara aku dan ruang itu, sehingga aku pun tak akan pernah sendirian. Kau memisahkan aku dengan ruang itu sehingga Kau bisa selalu tahu tentang aku.

OFF


OFF
Oleh Qanita Asyd

September, 1999
Peristiwa itu terjadi begitu saja. Entah sejak kapan. Perempuan dengan intelektual tinggi itu menghilang. Mungkin lebih tepatnya kusebut ia menghindar. Perempuan dengan garis tegas di wajahnya, kerudung panjang yang selalu berkibar dan wajah ceria penuh damai itu tak ku dapati lagi. Aku selalu saja berjalan di belakangnya dan memperhatikannya dari jauh. Temanku, ia temanku. Ku sayangi dia sepenuh hati walau pada kenyataannya, aku terlihat begitu datar. Temanku, ia temanku. Ku hargai dia walau pada hasilnya aku terlalu sibuk hanya untuk menemaninya.

Dak Katek Duit


DAK KATEK DUIT
Oleh Qanita Asyd

Muara Jangga, 16. 15 WIB
Sepotong roti keras di dalam genggaman itu telah habis. Seorang lelaki tua telah memotongnya, menyantapnya dengan rakus tanpa sisa. Bahkan, Serbuk-serbuk roti yang jatuh pun ingin sekali ia santap. Tapi tak mungkin. Ia hanya lelaki tua tanpa kelihaian gerakan. Ia, lelaki tua dengan keringat yang telah melebur bersama hujan sore itu. baju putihnya tampak lusuh dan telah berubah warna menjadi kecokelatan. Ia, lelaki tua dengan gerobak kecil di genggamannya. Gerobak yang telah ia dorong sejak satu hari yang lalu. Gerobak yang tak akan sudi ia lepaskan walau nyawa taruhannya.
“Dikit lagi lah sampai kito, lup.” Kata lelaki tua itu girang. Ia kini tengah duduk di depan sebuah warung kosong. Hujan telah berhasil membuatnya menyerah untuk terus melangkah. Ia mengalah. Lagipula sebentar lagi ia akan tiba di suatu tempat harapan yang ia tuju sejak kemarin. Matanya menerawang jauh ke depan.
 “Kali ini nian lah nak..”
Kulup, seorang bocah kecil yang sedari tadi ia ajak bicara tak menjawab. Lelaki tua itu kini menatap putra semata wayangnya lekat. Wajahnya tampak polos bila sedang tidur. Anak lincah yang telah menjadi penyejuk hatinya sejak tujuh tahun belakangan ini.
Perlahan, lelaki tua itu membetulkan selimut Kulup. Memperbaiki kain yang tersingkap di terpa angin. Ia takut kalau-kalau Kulup terkena tetesan hujan. Ditariknya gerobak itu lebih dekat ke arahnya agar ia bisa melihat wajah Kulup. Ya. Kulup kini tidur di dalam gerobak yang ia dorong sejak kemarin.
Kedua anak beranak itu telah menghabiskan perjalanan bersama demi sebuah tempat yang paling diharapkan. Berkali-kali lelaki tua itu menerangkan pada Kulup bahwa mereka akan sampai. Kulup akan segera mendapatkan apa yang harus ia dapatkan. Hingga pada akhirnya Kulup tak mau bertanya lagi. Ia mungkin lelah.
Dikit lagi Lup..” kata lelaki tua itu lagi. Samar.
Lelaki kurus itu kini kembali menatap hujan. Senyum mengembang di wajahnya. Mamak di rumah pasti senang. Kulup sebentar lagi sembuh.
***

Jambi, 17.05 WIB
Tak pernah ia mengira bahwa sore itu menjadi sore terkelam baginya. Labiri-labirin otaknya membawanya kembali ke masa dua hari yang lalu ketika di belakangnya sesosok wanita tengah terisak seraya melambaikan tangan melepas kepergiannya. Ia tak berani menoleh. Ia cukup tegar untuk berpisah dengan istrinya beberapa hari saja. Namun, ia tak cukup tegar untuk berkata jujur bahwa ia tidak akan ke kota dengan naik angkutan umun seperti yang ia bilang di malam harinya. Ia dan Kulup akan pergi ke kota dengan gerobak. Di ujung gang sana telah menunggu gerobak yang biasa ia pakai untuk bekerja.
Kulup sakit panas. Hanya itu yang ia tahu. Biasanya Kulup akan segera sembuh dengan sendirinya. Namun, entah mengapa kali ini berbeda. Kulup tak kunjung sembuh. Sempat ia menerka bahwa Kulup kesambet setan seperti yang orang-orang di kampungnya yakini. Tapi itu tidak benar. Ini bukan kesambet. Dan cukuplah penolakan pemberian pertolongan kala itu yang membuat lelaki itu mengelus dada. Ia kini paham betapa sakitnya hidup di negeri dengan pemberian mahkota pada uang. Atau ia mulai menyadari bahwa ia harus memiliki uang?
Idak ado cerito! dak katek duit dak galak!” hardik seorang pria ketika lelaki tua itu mencoba meminta izin untuk berhutang pagi itu. Tangan pria itu meremas-remas obat yang baru saja ia bungkus. Ia tak menyangka bahwa lelaki di depannya akan ngutang. “Kau kiro ini warung kopi, heh?” katanya lagi seraya melotot.
Sikok ni lah Wak.. kasian anak awak..” bujuk lelaki tua itu. Tubuhnya bergetar.
Idak, idak. Kau cari dewek apotek lain yang mau ngasih utang. Di sini dak terimo utang.”
Pria itu menghabiskan perkara. Ia melayani pembeli lain tanpa menghiraukan lelaki tua yang perlahan mundur. Ia toh masih punya harga diri. Masih ada jalan lain. Kulup harus sembuh dan keputusan nekatnya pergi ke kota dengan bermodalkan kartu miskin membuatnya masih tegar hingga saat ini. Berharap semoga saja Rumah sakit di kota akan menerima kartu itu. Ya. semoga saja.
“Lup, kito sampe..” desis lelaki tua itu lemah.
Beberapa menit lalu ia telah berhasil menginjakkan kaki di tempat harapan itu. Rumah sakit. ia telah berhasil meyakinkan petugas bahwa ia sangat membutuhkan pertolongan saat ini. lelaki tua ini pantas untuk tersenyum demi membayar perjuangannya dua hari ini. Ya. Sudah dua hari ia telah mendorong gerobak hingga ia tiba di tempat harapannya bertumpu. Seorang dokter. Hanya sosok bejubah putih itu yang kini ia harapkan.
“Maaf.. Ini putra bapak?” Tanya seorang pria bejubah putih. Dokter itu baru saja selesai memeriksa Kulup.
“Benar.”
“Begini pak..” Dokter menarik lengan lelaki tua itu. ia mencoba meraba hati sang Bapak yang tengah di rundung harapan. Hati-hati sekali ia mencoba menerangkan tentang keadaan anaknya.
Sejenak setelah Dokter melayangkan sebuah kalimat yang menembus hinnga ke sanubarinya, Lelaki tua itu merosot. Matanya menerawang. Sungguh ini adalah sore terkelam dalam hidupnya. Kulup pergi. Sejak sehari yang lalu Kulup sudah pergi. Saat itu Kulup bukan tidur seperti yang lelaki tua itu sangka selama ini. ia tidak tidur.
Ia pergi.
“Bangun.. Bangun Lup..” desis lelaki tua itu. Di depannya seorang bocah penyejuk hatinya telah pucat. Seorang bocah yang karena dia, lelaki tua itu melawan keterbatasan. Karena dia, lelaki tua itu tetap melangkah walau terkadang tubuh ringkihnya tak bisa lagi di harapkan. Semuanya karena dia.
Dokter bilang Kulup terlambat di bawa. Ia terserang demam berdarah. Tapi, lelaki tua itu tak peduli. Ia masih terus mendekap tubuh Kulup. Sesekali ia memgguncang-guncang. Matanya menerawang. Pikirannya berlarian kesana-kemari. Terkadang bertaut pada Kulup, terkadang singgah di wajah sendu Istrinya yang menanti kepulangan mereka, dan terkadang ia mengingat wajah-wajah orang yang menolaknya menolong karena tak memiliki uang. Ia kira ia tak akan sanggup berdiri lebih lama lagi. Ia makin lemas.
Semua gelap.
***

Mungkin

Mungkin, seringkali kita disakiti atau menyakiti
Kamu akan merasakannya..
Sadar ataupun tidak, manusia kerapkali menyakiti, ia peka pada rasa ‘tersakiti’
Sayang manusia kurang peka pada rasa ‘menyakiti’,
Padahal ia..
Harusnya ia tak menjadi pusaran angin yang kian membesar,
Harusnya ia menyadari,

Atau berbahagialah ia,
Karena Tuhan, maaf tercipta..

Berbahagialah..
Karena tanpa disadari, ketika ia menyakiti,
Sebuah maaf telah terhujani untuknya..

tapi aku cemas..
Karena manusia tak sama..
Bisa saja kau temukan. Manusia yang menuntutmu di depan Allah terlebih dahulu..

Tapi,Allah..
Aku merasa sesuatu yang aneh..
Atau sakit.

Minggu, 18 November 2012

ORANGE


Gadis bersweater kelabu itu berjalan pelan di sebuah lapangan kampus. Dipundaknya tampak sebuah tas sandang biru menggantung. Tas tua. Namun, orang-orang tentu tak akanmenyangka bahwa itu adalah tas yang baru dibeli di sebuah supermarket. Tepatnya, di sebuah keranjang besi bertuliskan diskon 50%. Apapun itu, ia tak bisa menolak apa yang Ibunya berikan untuk keberhasilannya lolos di Universitas Pinang Masak.
Menurut prakiraan cuaca, siang itu suhu mencapai 45oC dan hujan tak akan turun. Gadis itu berkernyit. Ia rindu hujan. Seperti orang linglung—dan sepertinya ia memang sedang linglung—gadis sweater kelabu itu mondar-mandir di tengah terik matahari. Ia tampak aneh dengan sweater  ketika panas sungguh menyengat. Disisi kanannya tampak beberapa remaja sebayanya berdiri disamping para pria atau wanita setengah baya, yang ia rasa mereka adalah orangtua para remaja itu. ia menatap skeptis. Mereka beruntung atau buntung?
Ia tak seperti mereka. Ia sendirian. Teman satu sekolahnya entah dimana saat ini. Ia memang suka sendirian. Tapi, tidak untuk saat ini. ia bingung. Setelah dokumen yang ia isi saat ini, lantas diapakan lagi?
“Di fotocopy dulu.” Kata seorang gadis berkacamata disampingnya.
“ha? Nggak perlu, kayak gitu aja nggak apa.” Kata seorang lagi.
“Lho, nanti kamu nggak punya pegangan, dong!” kata yang lain lagi.
Hah! Terserahlah. Gadis bersweater itu berjalan cepat menuju tempat fotocopy.

Tahukah kamu siapa gadis sweater abu-abu itu?
Bocoran,
itu aku.

Namaku Fuka. sangat terobsesi dengan nama Islami, karena itu aku sering melakukan penjabaran nama sesuai apa yang aku suka. orang-orang tidak akan mengerti bagaimana aku. Ya. sebenarnya orang-orang tidak bisa terlalu memastikan siapa seseorang sebenarnya. karena manusia itu dinamis, bisa berubah.
Aku, ya Aku. Kamu?

***

Aku masih beringsut memaksa melangkahkan kaki mencari tempat fotocopy. biar kuelaskan, aku baru saja diterima sebagai mahasiswa baru di sebuah kampus yang nama manisnya "Kampus Pinang Masak" , nama gaulnya "Kampus orange". aku tidak akan memberitahukan nama formalnya padamu karena ini zaman modern, kau harus tahu segala info dan nama lain dari sebuah tempat.


“Kau masuk fakultas keguruan saja!” kata Bapak malam itu, hari dimana masa depanku sepertinya sudah skak mat.

Aku sudah menyerah untuk berkata,
"Aku mau jadi pelukis atau pekerja design grafis.."

karena aku sudah terlalu sok mendaftarkan diri di Universitas favorit di Yogyakarta, namun tak membawa hasil. aku sudah mengecewakan mereka. jadi sekarang aku mengiyakan saja agar mereka tak kecewa. mereka, hartaku. titpan Rabbi..

hmm
aku pandangi tempat fotocopy di depanku. tempatnya mirip koperasi di sekolah menengahku dulu, tapi bedanya yang ini begitu padat. penuh dengan tulang terbungkus daging, keringat, dan segala keanekaragamannya. Ya Allah, maukah Engkau turunkan hujan sekarang?