Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Minggu, 16 September 2012

Tiga Garis Takdir- Your life Your Choice


TIGA GARIS TAKDIR
Oleh Qanita Asyd

Bandung, 2005
Kepala Yoyo manggut-manggut takkala Ucup, teman yang baru beberapa bulan ia kenal di kampus berceloteh riang tentang motor tahun 80an-nya. Ucup namanya, tapi penolakannya pada nama itu sungguh luar biasa. Ucup, pemuda berambut cepak itu kini terjebak dalam lingkaran westernisasi dan setengah mati memaksa semua orang untuk memanggil namanya dengan ejaan bahasa inggris, yakni, Yu dari U, Kap dari Cup. Yukap. Dan Ucup, dialah satu-satunya teman yang selalu Yoyo temukan di halaman mesjid ketika mereka harus menjalani rutinitas ibadah pekanan, mentoring1.
 “Aah, basi lo!” kata Yoyo tiba-tiba. Hatinya mencelos. Minggu ini adalah minggu kedelapan ia mengikuti mentoring. Namun, selama itu pula orang yang datang mentoring hanya ia dan Ucup. Menggelikan...
“He? Apaan lo?” Ucup, pemuda asal Jember korban zaman globalisasi itu tak rela pembicaraan otomotifnya dihentikan.
“Mana nih yang lain? Gue bosen mentoring cuma sama lo.” Yoyo mengacak-acak rambutnya frustasi.
“Lo tahu teknologi nggak sih? Telpon mereka dong, telpon!” Ucup nyinyir. “Gue juga bosen kali, mentoring cuma bertiga sama lo dan Kang Ari. Mentoring apaan tuh?”
“Ha! Nyolot lo! nyolot!”
Ucup menghentikan langkahnya di samping Escudo hitam yang terparkir di depan gedung putih Rektorat kampus. Berkaca. Dengan cekatan, ia rapikan rambut cepaknya yang baru saja ternoda oleh tangan Yoyo. Senyum mengembang di wajahnya takkala ia temukan sehelai rambut tumbuh di dagunya.
“Kap..” panggil Yoyo pada Ucup. Ia tahu kalau temannya yang satu ini tidak rela bila dipanggil Ucup.
“Apaan, nyet?”
“Kadang gue males mentoring.”
Ucup menoleh sebentar, namun ia kembali mengagumi dagunya yang dulunya gersang tapi akhirnya dengan perawatan rutin, ia bisa menumbuhkan jenggot. “Sama lah. Sepi amat.” celetuk Ucup cuek. “Tapi, Gue kasian aja dengan Kang Ari. Kalo gue nggak dateng ntar dia nggak bisa dong ketemu artis kece kayak gue. Ya nggak, men?”
“Mati aja lo!” dengus Yoyo jengkel. Tangan kekarnya telah berhasil mendarat di kepala Ucup dan memberi jitakan rasa cabe cap Mama Rosa. Nih orang nggak pernah serius, pikirnya.
“Gokiiil…! Elo emang butuh mentoring Yo. Temperamen lo tuh parah!” sungut Ucup seraya mengelus kepalanya. Dilihatnya Yoyo menyunggingkan senyum tipis. “Hmm..tapi ya men, gue salut sama Kang Ari. Tuh orang kan lagi sibuk skripsi tapi masih sempet aja ngajarin kita. Nggak dibayar, men. Sekali-kali lo coba bayangin ada di posisi Kang Ari dong.” Kata Ucup kalem. “Lagian kalo gue mentoring, setidaknya gue sekali seminggu sempet baca Al-Quran. Kan kalo nggak mentoring, gue nggak pernah baca..! Wuahahaha…”
“Hahahaha….salut gue sama lo. Gery saluuuuut.”
Kedua pemuda yang masih memiliki jalan panjang itu tergelak-gelak. Mungkin menertawai keadaan mereka. Entahlah. Yang pasti, mereka tahu bahwa hidup ini sementara. Setidaknya mereka tahu, kelak akan tiba suatu masa ketika mereka harus berhadapan dengan Tuhan semesta alam, dan di tanya,
 “Untuk apa hidupmu dihabiskan?”
***
“Lo kenapa nggak mentoring lagi, heh?
“Emmm.. bukan gitu Yo..”
Dion, pemuda yang selama hidupnya baru datang mentoring satu kali itu hanya bisa nyengir. Pertanyaan beruntun Yoyo yang sedari tadi melesat selalu tak sempat ia jawab. Yoyo nyerocos tanpa rem kayak nenek-nenek. Sedangkan Ucup yang kalem membaca majalah Metropolis tak memberinya pembelaan sedikitpun.
“Gue nggak sempet Yo. Banyak banget tugas gue.” kata Dion geleng-geleng kepala. “Ternyata gini ya, jadi mahasiswa itu..”
“Ha? Lo pikir yang mahasiswa cuma lo? Gue juga mahasiswa!” kata Yoyo tak sabar.
Dion menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tak percaya dengan keadaannya sekarang. Kedua temannya datang ke rumahnya hanya untuk memarahinya demi hal ini? Sial.
“Aah lo gitu ya Yo. Belajar Islam kan nggak mesti di mentoring. Lo juga dateng mentoring karna nggak enak aja kan dengan Kang Ari? Nggak karena Allah lo semua. Mending gue, langsung nggak mentoring karena emang nggak ngeh sama yang begituan. Males gue. Nggak nyaman..!” Dion melompat kesal.
“Woy! Enak aja lo, nyet. Gue pengen belajar Islam!” Ucup buru-buru bangkit dan bergeser ke samping Dion. “Lo nggak liat nih? Jenggot gue tumbuh, meen! Udah kayak Kang Ari.”
“Basi lo. Itu jenggot apa kutil? Dikit banget.”
Ucup terkesiap. Secepat kilat lengannya menggantung di leher Dion sebagai ancang-ancang pembelaan jenggot. Tak percaya bahwa Dion mengatakan hal itu. Tak percaya dengan kenyataan bahwa ia hanya memiliki satu helai jenggot. Tak percaya segalanya. Kutil??
“Lo ngebacot kayak udah ngerti Islam aja.” kata Yoyo tajam ketika Dion dan Ucup sibuk saling menjitaki kepala. “Oke, elo nggak ikut mentoring. tapi emang selama ini lo ada usaha belajar Islam di tempat lain?”.
Dion terdiam. Tak berapa lama kemudian ia melihat Yoyo terduduk lesu dan kembali berujar. “Pernah nggak lo mikir kalo jangan-jangan lo itu tahu Islam melainkan cuma namanya doang? Pernah nggak?”.
Kali ini tak hanya Dion saja yang tercekat. Ucup, pemuda korban teknologi itu kini menatap Yoyo nanar. Ada. Ada sesuatu di hati Yoyo yang kini meluap keluar melalui kaca-kaca yang pecah di matanya.
“Pernah nggak?” tanya Yoyo lagi. “Kalo gue.. sering!!”
Dion dan Ucup bergetar. Mereka tahu, ucapan Yoyo kali ini tulus dari hati yang terdalam. Dan perlahan, mereka mengangguk. Dan perlahan.. mereka harus belajar apa tujuan hidup itu sebenarnya dan kemana mereka akan pulang pada akhirnya.
Ingat itu, men. Pada akhirnya.. elo kemana?
***
Dua pemuda itu duduk mematung di samping seorang lelaki bersahaja yang tengah membaca ayat-ayat suci bersama dengan yang lain. Kang ari. Mereka kini bersama Kang Ari di kediaman sahabat mereka. Bukan untuk silaturahmi atau ngajak nongkrong di Hallington seperti biasanya. Tapi, mereka datang untuk hal lain yang jauh lebih penting dibandingkan apapun. Tak jauh di hadapan mereka, sebuah tubuh kurus dalam balutan kain putih terbujur kaku. Tubuh itu begitu dingin.
“Gue kok ditinggalin sih, nyet?” sebuah suara terdengar lirih. Suara Ucup.
Tak ada jawaban. Dion hanya tertunduk lemah. Ia tak sanggup.
Kang Ari, lelaki yang selama ini sabar membina mereka, yang selalu menunggu mereka di taman belakang kampus dengan senyum sumringahnya, dan yang mengenalkan pada mereka keimanan yang sesungguhnya itu hanya menepuk pundak adik-adiknya.
Tubuh Ucup bergetar hebat. Ia berusaha membuat suaranya senormal mungkin dan mencoba tegar setegar-tegarnya. Berusaha menyembunyikan kristal-kristal bening yang menggantung di matanya. Labirin-labirin otaknya membawanya kembali ke peristiwa kemarin.
“Mungkin bukan karena Allah. Tapi gue harap niat gue murni karena Allah.. Gue pengen berubah.” kata Yoyo saat itu takkala Dion mempeributkan masalah niat mentoring. “Gue pengen setidaknya ada hal yang bisa gue banggain di hadapan Allah nanti. Amal-amal gue..”
Ucapan Yoyo laksana angin yang membumbung dan berputar di sekeliling pemilik suara. Melayang ke udara, membuat goresan oleh pena Malaikat dan bangkit mengetuk pintu langit. Ya. Ucapan itu telah menjadi do’a yang terbang menuju Tuhan. Ucapan yang tak lama kemudian, pemiliknya ikut terbang menyusul. Yoyo pergi. Kecelakaan motor kemarin malam telah merenggut nyawanya.
“Kemarin baru aja Yoyo bilang ingin ikut halaqah2.” kata Kang Ari pelan.
Pernah nggak lo mikir kalo jangan-jangan lo itu tahu Islam melainkan cuma namanya doang? Pernah nggak?
Apa elo ngerasa cukup dengan lo yang sekarang?
Tanpa sepatah katapun yang bisa meluncur dari bibir, Ucup dan Dion mengangguk-angguk seraya menjulurkan tangannya ke tangan Kang Ari. Berusaha untuk mengikhlaskan Yoyo. Berusaha untuk merenungi dan memahami lagi ucapan Yoyo. Mereka tahu, sebelum ini pun, Yoyo adalah pemuda yang sekuat iman mencari kebenaran. Berjuang keras menabrak nafsu yang selalu mengerumuninya. Mencari Hidayah.
Ya. Hidayah.
Pada akhirnya mereka menyadari bahwa hidayah itu harus dicari bukan hanya ditunggu. Ada hal yang harus dilakukan agar kita pantas diberi hidayah. Dan..terkadang kita harus mendobrak pintu untuk keluar dari zona yang selama ini kita anggap nyaman namun ternyata melalaikan dan membawa kegelapan tanpa ujung. Terkadang kita harus melawan ketidaksukaan kita pada suatu hal. Karena boleh jadi ketidaksukaan itu adalah ketidaktahuan kita. Tidak tahu bahwa itu benar. Tidak tahu bahwa ternyata hal yang tidak kita sukai itulah hal yang di sukai Allah.
Mentoring.
“Selamat jalan sobat. Gue harap kita bisa duduk melingkar bareng di surga”
***
“Masa muda usia ku kini,
warna hidup tinggal ku pilih
namun aku telah putuskan hidup di atas kebenaran..”
(Masa Muda_Edcoustic)

1 Kegiatan majelis berorientasi pada pengembangan bakat,akhlak dan kemampuan yang dilakukukan 1 x seminggu dan dipimpin seorang tutor/pembina. Cara paling efektif dala belajar.
2. mirip seperti mentoring. Ibadah pekanan yang dilakukan dengan duduk melingkar dan membahas demi perbaikan Iman, Akhlak, agama dan Ibadah. Tak jarang membahas hal lain. Dahulu Rasulullah berdakwah dan mengajari umatnya tentang Iman dan Islam melalui Halaqah; majelis dzikir; mengajari pesertanya untuk mengingat Allah—pekerjaan yang di cintai Allah ialah mengingat Allah (Dzikir); bermanfaat sebagai “charger” iman manusia yang sering turun naik; cara paling efektif yang digunakan Nabi untuk belajar.