TIGA GARIS TAKDIR
Oleh Qanita Asyd
Bandung,
2005
Kepala Yoyo manggut-manggut takkala Ucup,
teman yang baru beberapa bulan ia kenal di kampus berceloteh riang tentang
motor tahun 80an-nya. Ucup namanya, tapi penolakannya pada nama itu sungguh
luar biasa. Ucup, pemuda berambut cepak itu kini terjebak dalam lingkaran westernisasi dan setengah mati memaksa
semua orang untuk memanggil namanya dengan ejaan bahasa inggris, yakni, Yu dari
U, Kap dari Cup. Yukap. Dan Ucup, dialah satu-satunya teman yang selalu Yoyo temukan
di halaman mesjid ketika mereka harus menjalani rutinitas ibadah pekanan,
mentoring1.
“Aah,
basi lo!” kata Yoyo tiba-tiba. Hatinya mencelos. Minggu ini adalah minggu kedelapan
ia mengikuti mentoring. Namun, selama itu pula orang yang datang mentoring
hanya ia dan Ucup. Menggelikan...
“He? Apaan lo?” Ucup, pemuda asal Jember korban
zaman globalisasi itu tak rela pembicaraan otomotifnya dihentikan.
“Mana nih yang lain? Gue bosen mentoring
cuma sama lo.” Yoyo mengacak-acak rambutnya frustasi.
“Lo tahu teknologi nggak sih? Telpon mereka
dong, telpon!” Ucup nyinyir. “Gue juga bosen kali, mentoring cuma bertiga sama
lo dan Kang Ari. Mentoring apaan tuh?”
“Ha! Nyolot lo! nyolot!”
Ucup menghentikan langkahnya di samping Escudo
hitam yang terparkir di depan gedung putih Rektorat kampus. Berkaca. Dengan
cekatan, ia rapikan rambut cepaknya yang baru saja ternoda oleh tangan Yoyo.
Senyum mengembang di wajahnya takkala ia temukan sehelai rambut tumbuh di
dagunya.
“Kap..” panggil Yoyo pada Ucup. Ia tahu
kalau temannya yang satu ini tidak rela bila dipanggil Ucup.
“Apaan, nyet?”
“Kadang gue males mentoring.”
Ucup menoleh sebentar, namun ia kembali
mengagumi dagunya yang dulunya gersang tapi akhirnya dengan perawatan rutin, ia
bisa menumbuhkan jenggot. “Sama lah. Sepi amat.” celetuk Ucup cuek. “Tapi, Gue
kasian aja dengan Kang Ari. Kalo gue nggak dateng ntar dia nggak bisa dong
ketemu artis kece kayak gue. Ya nggak, men?”
“Mati aja lo!” dengus Yoyo jengkel. Tangan
kekarnya telah berhasil mendarat di kepala Ucup dan memberi jitakan rasa cabe
cap Mama Rosa. Nih orang nggak pernah serius, pikirnya.
“Gokiiil…! Elo emang butuh mentoring Yo.
Temperamen lo tuh parah!” sungut Ucup seraya mengelus kepalanya. Dilihatnya
Yoyo menyunggingkan senyum tipis. “Hmm..tapi ya men, gue salut sama Kang Ari.
Tuh orang kan lagi sibuk skripsi tapi masih sempet aja ngajarin kita. Nggak
dibayar, men. Sekali-kali lo coba bayangin ada di posisi Kang Ari dong.” Kata
Ucup kalem. “Lagian kalo gue mentoring, setidaknya gue sekali seminggu sempet
baca Al-Quran. Kan kalo nggak mentoring, gue nggak pernah baca..! Wuahahaha…”
“Hahahaha….salut gue sama lo. Gery saluuuuut.”
Kedua pemuda yang masih memiliki jalan
panjang itu tergelak-gelak. Mungkin menertawai keadaan mereka. Entahlah. Yang
pasti, mereka tahu bahwa hidup ini sementara. Setidaknya mereka tahu, kelak akan
tiba suatu masa ketika mereka harus berhadapan dengan Tuhan semesta alam, dan
di tanya,
“Untuk apa hidupmu dihabiskan?”
***
“Lo kenapa nggak mentoring lagi, heh?
“Emmm.. bukan gitu Yo..”
Dion, pemuda yang selama hidupnya baru
datang mentoring satu kali itu hanya bisa nyengir. Pertanyaan beruntun Yoyo
yang sedari tadi melesat selalu tak sempat ia jawab. Yoyo nyerocos tanpa rem
kayak nenek-nenek. Sedangkan Ucup yang kalem membaca majalah Metropolis tak memberinya
pembelaan sedikitpun.
“Gue nggak sempet Yo. Banyak banget tugas gue.”
kata Dion geleng-geleng kepala. “Ternyata gini ya, jadi mahasiswa itu..”
“Ha? Lo pikir yang mahasiswa cuma lo? Gue juga
mahasiswa!” kata Yoyo tak sabar.
Dion menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Tak percaya dengan keadaannya sekarang. Kedua temannya datang ke rumahnya hanya
untuk memarahinya demi hal ini? Sial.
“Aah lo gitu ya Yo. Belajar Islam kan nggak
mesti di mentoring. Lo juga dateng mentoring karna nggak enak aja kan dengan
Kang Ari? Nggak karena Allah lo semua. Mending gue, langsung nggak mentoring
karena emang nggak ngeh sama yang begituan. Males gue. Nggak nyaman..!” Dion
melompat kesal.
“Woy! Enak aja lo, nyet. Gue pengen belajar
Islam!” Ucup buru-buru bangkit dan bergeser ke samping Dion. “Lo nggak liat
nih? Jenggot gue tumbuh, meen! Udah kayak Kang Ari.”
“Basi lo. Itu jenggot apa kutil? Dikit
banget.”
Ucup terkesiap. Secepat kilat lengannya
menggantung di leher Dion sebagai ancang-ancang pembelaan jenggot. Tak percaya
bahwa Dion mengatakan hal itu. Tak percaya dengan kenyataan bahwa ia hanya
memiliki satu helai jenggot. Tak percaya segalanya. Kutil??
“Lo ngebacot kayak udah ngerti Islam aja.”
kata Yoyo tajam ketika Dion dan Ucup sibuk saling menjitaki kepala. “Oke, elo
nggak ikut mentoring. tapi emang selama ini lo ada usaha belajar Islam di
tempat lain?”.
Dion terdiam. Tak berapa lama kemudian ia
melihat Yoyo terduduk lesu dan kembali berujar. “Pernah nggak lo mikir kalo jangan-jangan
lo itu tahu Islam melainkan cuma namanya doang? Pernah nggak?”.
Kali ini tak hanya Dion saja yang tercekat.
Ucup, pemuda korban teknologi itu kini menatap Yoyo nanar. Ada. Ada sesuatu di
hati Yoyo yang kini meluap keluar melalui kaca-kaca yang pecah di matanya.
“Pernah nggak?” tanya Yoyo lagi. “Kalo gue..
sering!!”
Dion dan Ucup bergetar. Mereka tahu, ucapan
Yoyo kali ini tulus dari hati yang terdalam. Dan perlahan, mereka mengangguk.
Dan perlahan.. mereka harus belajar apa tujuan hidup itu sebenarnya dan kemana
mereka akan pulang pada akhirnya.
Ingat itu, men. Pada akhirnya.. elo kemana?
***
Dua pemuda itu duduk mematung di samping
seorang lelaki bersahaja yang tengah membaca ayat-ayat suci bersama dengan yang
lain. Kang ari. Mereka kini bersama Kang Ari di kediaman sahabat mereka. Bukan
untuk silaturahmi atau ngajak nongkrong di Hallington seperti biasanya. Tapi,
mereka datang untuk hal lain yang jauh lebih penting dibandingkan apapun. Tak
jauh di hadapan mereka, sebuah tubuh kurus dalam balutan kain putih terbujur
kaku. Tubuh itu begitu dingin.
“Gue kok ditinggalin sih, nyet?” sebuah
suara terdengar lirih. Suara Ucup.
Tak ada jawaban. Dion hanya tertunduk lemah.
Ia tak sanggup.
Kang Ari, lelaki yang selama ini sabar
membina mereka, yang selalu menunggu mereka di taman belakang kampus dengan
senyum sumringahnya, dan yang mengenalkan pada mereka keimanan yang sesungguhnya
itu hanya menepuk pundak adik-adiknya.
Tubuh Ucup bergetar hebat. Ia berusaha membuat
suaranya senormal mungkin dan mencoba tegar setegar-tegarnya. Berusaha menyembunyikan
kristal-kristal bening yang menggantung di matanya. Labirin-labirin otaknya
membawanya kembali ke peristiwa kemarin.
“Mungkin bukan karena Allah. Tapi gue harap niat
gue murni karena Allah.. Gue pengen berubah.” kata Yoyo saat itu takkala Dion
mempeributkan masalah niat mentoring. “Gue pengen setidaknya ada hal yang bisa
gue banggain di hadapan Allah nanti. Amal-amal gue..”
Ucapan Yoyo laksana angin yang membumbung dan
berputar di sekeliling pemilik suara. Melayang ke udara, membuat goresan oleh pena
Malaikat dan bangkit mengetuk pintu langit. Ya. Ucapan itu telah menjadi do’a
yang terbang menuju Tuhan. Ucapan yang tak lama kemudian, pemiliknya ikut
terbang menyusul. Yoyo pergi. Kecelakaan motor kemarin malam telah merenggut
nyawanya.
“Kemarin baru aja Yoyo bilang ingin ikut
halaqah2.” kata Kang Ari pelan.
Pernah nggak lo mikir
kalo jangan-jangan lo itu tahu Islam melainkan cuma namanya doang? Pernah
nggak?
Apa elo ngerasa cukup
dengan lo yang sekarang?
Tanpa sepatah katapun yang bisa meluncur
dari bibir, Ucup dan Dion mengangguk-angguk seraya menjulurkan tangannya ke
tangan Kang Ari. Berusaha untuk mengikhlaskan Yoyo. Berusaha untuk merenungi
dan memahami lagi ucapan Yoyo. Mereka tahu, sebelum ini pun, Yoyo adalah pemuda
yang sekuat iman mencari kebenaran. Berjuang keras menabrak nafsu yang selalu
mengerumuninya. Mencari Hidayah.
Ya. Hidayah.
Pada akhirnya mereka menyadari bahwa hidayah
itu harus dicari bukan hanya ditunggu. Ada hal yang harus dilakukan agar kita
pantas diberi hidayah. Dan..terkadang kita harus mendobrak pintu untuk keluar
dari zona yang selama ini kita anggap nyaman namun ternyata melalaikan dan
membawa kegelapan tanpa ujung. Terkadang kita harus melawan ketidaksukaan kita
pada suatu hal. Karena boleh jadi
ketidaksukaan itu adalah ketidaktahuan kita. Tidak tahu bahwa itu benar.
Tidak tahu bahwa ternyata hal yang tidak kita sukai itulah hal yang di sukai
Allah.
Mentoring.
“Selamat jalan sobat. Gue harap kita bisa
duduk melingkar bareng di surga”
***
“Masa muda usia ku
kini,
warna hidup tinggal
ku pilih
namun aku telah
putuskan hidup di atas kebenaran..”
(Masa Muda_Edcoustic)
1 Kegiatan
majelis berorientasi pada pengembangan bakat,akhlak dan kemampuan yang
dilakukukan 1 x seminggu dan dipimpin seorang tutor/pembina. Cara paling
efektif dala belajar.
2. mirip
seperti mentoring. Ibadah pekanan yang dilakukan dengan duduk melingkar dan
membahas demi perbaikan Iman, Akhlak, agama dan Ibadah. Tak jarang membahas hal
lain. Dahulu Rasulullah berdakwah dan mengajari umatnya tentang Iman dan Islam
melalui Halaqah; majelis dzikir; mengajari pesertanya untuk mengingat
Allah—pekerjaan yang di cintai Allah ialah mengingat Allah (Dzikir); bermanfaat
sebagai “charger” iman manusia yang sering turun naik; cara paling efektif yang
digunakan Nabi untuk belajar.